desaku yang tercinta
Ritme
Kita terbiasa berpacu dengan waktu, meyelami ritme kehidupan kota yang cepat. Mulai bangun tidur kita disibukkan untuk bersiap-siap dan bergegas mengejar angkutan untuk berangkat ke kantor. Sepulang kerja kita harus berdesakan lagi di angkutan umum, belum lagi kemacetan yang sepertinya tak pernah surut. Waktu kita seakan tersedot habis untuk mengejar masalah-masalah duniawi.
Berbeda jauh dengan kota, ritme kehidupan di desa berjalan lambat, ketenangan menyelimuti tiap sudut desa. Dengan begini kita akan lebih bisa memaknai arti hidup, bahwa hidup tak hanya melulu untuk mengejar kekayaan duniawi. Lebih dari itu, kita juga harus sadar bahwa jiwa dan hati kita juga butuh ketenteraman.Kota memang menawarkan banyak kemudahan dan materi. Namun, untuk mendapatkan itu banyak juga kemewahan yang harus kita “tendang” ke luar.
Sibuknya perkotaan via www.playbuzz.com
Berangkat kerja ke kantor di pagi hari, pulang di sore hari, tak jarang bahkan yang harus lembur demi mendapatkan uang tambahan. Belum lagi banyaknya godaan dari tempat-hiburan: bioskop, karaoke, klub malam, barang-barang bermerk, dan secangkir kopi semakin membuat kita merasa kecil dan kekurangan.
Pakaian harus merk A, sepatu harus yang berbahan kulit buaya, telepon genggam harus yang paling canggih, mau beli mobil harus yang berharga milyaran. Bak papan iklan yang berjalan kita rela membeli semua itu. Untuk apa? Tak lain dan tak bukan hanyalah untuk menunjukkan kepada orang-orang siapa diri kita sebenarnya.Kesederhanaan akan membuat kita menjadi manusia yang lebih bisa bersyukur, lebih akrab dengan alam dan Tuhan
Menanak nasi dengan cara tradisional viasonofmountmalang.wordpress.com
Mandi dan mencuci di sungai, makan siang di gubuk tengah sawah, dan melewati malam hanya ditemani sebatang obor maupun lampu minyak membuat mereka lebih menghargai dan mensyukuri hidup dan kesederhanaan yang telah diberikan kepada mereka.
Meski tak memiliki fasilitas yang berlimpah seperti di kota, masyarakat pedesaan justru amat sangat menjunjung tinggi kesederhanaan. Mereka tak perlu mobil mahal maupun pakaian bermerek. Yang terpenting bisa bertani dan mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah untung. Tak perlu banyak menuntut, toh semua harta benda pada akhirnya tak akan dibawa ke kubur. Yang pasti amal kebaikan kita-lah yang akan menemani dan menolong kita di alam baka nanti.
Mungkin hal-hal diatas hanyalah contoh kecil kehidupan desa yang masih belum sepenuhnya terjamah modernisasi. Hipweejuga tak ingin mengatakan bahwa semua masyarakat kota hanya peduli materi, dan tak semua masyarakat desa senang akan kesederhanaan. Khususnya mereka kaum muda yang haus akan petualangan dan pengalaman, lebih memilih hijrah dari desa dan mencoba mencari keuntungan di kota. Pada akhirnya, semua kembali dari pribadi dan pendapat masing-masing#desa
#sederhana
#tenteram
BERIKAN KOMENTAR
ARTIKEL SEBELUMNYA
11 Alasan Kenapa Traveling Bukan Buang-Buang Uang, Namun Justru Menabung Demi Kesuksesan
ARTIKEL SELANJUTNYA
Untuk Seseorang yang Tak Kukenal Sebelumnya, Yang Kupanggil Ayah Sekalipun Aku Punya Papa
ADVERTISEMENTDanar MustofaDanar Mustofa
Penggemar Mendoan hangat, dan kopi hitam nan kental
Belum ada tanggapan untuk "desaku yang tercinta"
Post a Comment